BI-RTGS (REAL TIME GROSS SETTLEMENT-BANK INDONESIA)
Oleh : Arowadi Lubis[1]
BAGIAN I
PENDAHULUAN
Selama beberapa tahun belakangan ini hampir semua negara-negara maju yang tergabung dalam G -10 countries telah menerapkan sistem Real-Time Gross Settlement (RTGS) untuk transaksi transfer antar bank. Menurut laporan BIS sampai saat ini sekurang-kurangnya 30 negara telah menggunakan sistem RTGS. Lebih lanjut bank sentral pada European Union (EU) telah memutuskan bahwa setiap anggota EU harus memiliki sistem RTGS yang dapat diintegrasikan dengan EU RTGS system (TARGET) untuk mendukung penyatuan ekonomi. Langkah serupa telah dilakukan pula oleh negara-negara Asia – Pasifik seperti Hong Kong, Korea, Australia, China, New Zealand, dan Thailand[2].
Pada umumnya penerapan RTGS di berbagai negara didasarkan pada beberapa alasan pokok sebagai berikut: pertama, berbagai literatur dan studi empiris secara intensif telah memunculkan kesadaran baru kepada berbagai bank sentral untuk dapat me-manage berbagai risiko Large Value Trasfer System (LVTS). Sistem RTGS memiliki mekanisme settlement yang dipandang mampu mengurangi risiko sistemik (risk minimising). Kedua, sistem ini akan dapat mengurangi timbulnya float sehingga dapat mendukung efektivitas pengawasan perbankan. Selain itu, pengelolaan likuiditas yang baik pada dunia perbankan juga dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Ketiga, sistem RTGS ini memungkinkan dilakukannya integrasi dengan berbagai aplikasi sistem pembayaran seperti pasar uang dan pasar modal, Delivery versus Payment (DVP). Link dengan crossborder payment juga dimungkinkan melalui aplikasi Payment Versus Payment (PVP)[3].
Beberapa alasan diatas menjadi pertimbangan pemerintah indonesia c.q Bank Indonesia untuk menerapkan RTGS dalam sistem keuangan indonesia. Penerapan sistem BI-RTGS di Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17 November 2000 dengan nama Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Kehadiran sistem BI-RTGS di Indonesia dinilai sangat penting mengingat transaksi pembayaran bernilai besar (High Value Payment System – HVPS) yang memiliki potensi terjadinya risiko sistemik sebelum adanya sistem BI-RTGS, menempati bagian mayoritas (hampir 2/3) dari seluruh transaksi pembayaran. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa volume transaksi pembayaran antar bank di Jakarta yang bernilai besar (high value) yang jumlah transaksinya lebih dari 10 ribu/hari tersebut hampir 70% berasal dari transaksi Forex (mata uang asing) dan Pasar Uang Antar Bank (PUAB)[4].
BAGIAN II
PEMBAHASAN
Excecutive Summary
Di dalam perkembangannya, dunia perbankan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, Oleh karena itu, masyarakat selaku nasabah dan penanam modal, menuntut pelayanan jasa di bidang perbankan untuk semakin berkembang mengikuti perubahan zaman, Untuk memenuhi tuntutan tersebut, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang salah satu tugasnya adalah mengatur kelancaran sistem sistem pembayaran, mengakomodir hal tersebut dengan mengeluarkan sistem pembayaran elektronik melalui BI-RTGS (Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement), dengan mengeluarkan sistem pembayaran BI-RTGS sebagai suatu sistem pembayaran yang lebih aman,cepat,dan efisien, BI RTGS juga diharapkan dapat membantu BI dalam mengatur dan mengawasi bank dalam hal ini menyangkut kesehatan bank. Sistem BI-RTGS sebagai sistem pembayaran terbaru juga masih mempunyai kekurangan-kekurangan yaitu dalam masalah sosialisasi dan BI-RTGS sebagai suatu sistem pembayaran antar Negara.
Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dengan adanya undang-undang tersebut Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem pembayaran elektronik (BI-RTGS) dituntut untuk dapat menyesuaikan dan menerapkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik ke dalam sistem BI-RTGS. Diharapkan untuk ke depannya Bank Indonesia sebagai bank sentral dan penyelenggara sistem BI-RTGS dapat memelihara kelayakan sistem BI RTGS,dan terus memperbaharui sistem BI-RTGS mengikuti perkembangan jaman yang ada, selain itu Bank Indonesia juga diharapkan dapat memperbaiki segala kekurangan-kekurangan di dalam BI-RTGS dan tetap konsisten didalam menjalankan kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana tertuang didalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transfer Elektronik.
A. Defenisi BI-RTGS
Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan per transaksi (individually processed / gross settlement) dan bersifat real time (electronically processed), dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran[5].
Dengan sistem BI-RTGS, peserta pengirim melalui terminal RTGS di tempatnya mentransmisikan transaksi pembayaran ke pusat pengolahan sistem RTGS (RTGS Central Computer /RCC) di Bank Indonesia untuk proses settlement. Jika proses settlement berhasil, transaksi pembayaran akan diteruskan secara otomatis dan elektronis kepada peserta penerima. Keberhasilan proses settlement tergantung dari kecukupan saldo peserta pengirim karena dalam sistem BI-RTGS peserta hanya diperbolehkan untuk mengkredit peserta lain. Dengan kata lain, peserta BI-RTGS harus meyakinkan bahwa saldo rekeningnya di Bank Indonesia cukup sebelum peserta tersebut melaksanakan transfer ke perserta BI-RTGS lainnya[6].
B. Tujuan BI-RTGS
Tujuan apa yang ingin dicapai Bank Indonesia menyelenggarakan sistem BI-RTGS? Setidaknya ada lima tujuan yang ingin dicapai seperti tercantum dalam publikasi biro pengembangan sistem pembayaran nasional bank indonesia. lima tujuan yang dimaksud terdiri dari:
a. Menyediakan sarana transfer dana antar peserta yang lebih cepat, efisien, andal dan aman.
b. Kepastian settlement dapat diperoleh dengan lebih segera (irrevocable dan unconditional).
c. Menyediakan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh.
d. Meningkatkan disiplin dan profesionalisme peserta dalam mengelola likuiditasnya.
e. Mengurangi risiko-risiko settlement[7].
C. Karakteristik Sistem BI-RTGS
Sistem BI-RTGS merupakan sistem RTGS yang ke delapan yang digunakan oleh negara-negara dilingkungan EMEAP countries (Executives Meeting of East Asia – Pacific Central Bankers) setelah tujuh negara lain yakni Thailand, Hongkong, Singapore, Malaysia, Korea Selatan, Australia dan New Zealand telah terlebih dahulu memberlakukan sistem RTGS.
Implementasi sistem BI-RTGS dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama, Bank Indonesia mewajibkan bank-bank yang beroperasi di Jakarta untuk menjadi peserta sistem BI-RTGS. Sedangkan tahap berikutnya, sistem BI-RTGS diimplementasikan di wilayah Kantor Bank Indonesia (KBI). Sampai saat ini, sistem BI-RTGS telah diimplementasikan di seluruh Indonesia, dengan jumlah seluruh peserta sebanyak kurang lebih 150 (non BI).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik sistem BI-RTGS :
a. V-SHAPED STRUCTURE
Sebagaimana digunakan oleh sebagian besar sistem RTGS di dunia, BI-RTGS juga menggunakan V-shaped structure dalam pengiriman message dari peserta pengirim kepada peserta penerima melalui Bank Indonesia sebagai penyelenggara BI-RTGS dibawah ini. Dalam struktur ini, seluruh informasi yang terkandung dalam suatu transaksi akan dikirimkan oleh peserta pengirim kepada RTGS Central Computer (RCC) dan akan diteruskan kepada peserta penerima apabila transfer sudah di-settle oleh Bank Indonesia
b. PESERTA BI-RTGS
Jumlah keseluruhan peserta langsung Sistem BI-RTGS saat ini berjumlah 150 yang terdiri 149 bank dan 1 non bank. Sedangkan jumlah peserta tidak langsung terdiri dari 3 bank. Jumlah peserta Sistem BI-RTGS tersebut akan terus berkembang. Peserta dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS dibedakan menjadi 2, yaitu peserta langsung dan peserta tidak langsung[8].
D. Mekanisme Transfer Dana BI-RTGS
Secara umum dapat digambarkan bahwa mekanisme transfer dana antar peserta BI-RTGS adalah sebagai berikut:
a. Peserta pengirim menginput credit transfer ke dalam terminal RTGS (RT) untuk selanjutnya ditransmisikan ke RCC di Bank Indonesia.
b. Selanjutnya, RCC memproses credit transfer dengan mekanisme sebagai berikut :
i. Mengecek kecukupan saldo apakah saldo rekening giro peserta pengirim lebih besar dari atau sama dengan nilai nominal credit transfer.
ii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim mencukupi akan dilakukan posting secara simultan pada rekening giro peserta pengirim dan rekening giro peserta penerima.
iii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim tidak mencukupi, credit transfer tersebut akan ditempatkan dalam antrian (queue) sistem BI-RTGS.
c. Informasi credit transfer yang telah diselesaikan (settled) akan ditransmisikan secara otomatis oleh RCC ke RT peserta pengirim dan RT peserta penerima[9].
E. Implementasi Sistem BI-RTGS di KBI
Setelah implementasi sistem BI-RTGS tahap-I di wilayah KPBI berjalan dengan baik, pada tahun 2001 secara bertahap sistem BI-RTGS diimplementasikan di wilayah KBI. Pengintegrasian sistem BI-RTGS di KP dan KBI ini akan menghapus rekening giro peserta yang ada di KBI sehingga hanya ada 1 rekening giro peserta di KP Bank Indonesia (centralized settlement account / CSA).
Manfaat pemberlakuan CSA bagi peserta sistem BI-RTGS antara lain:
a. Memudahkan peserta dalam melakukan kontrol terhadap posisi likuiditasnya.
b. Money in transit yang mungkin terjadi pada saat peserta melakukan transfer ke cabang-cabang akan dapat dihilangkan sehingga cost of fund peserta akan dapat diturunkan.
c. Membantu peserta dalam mengelola dananya secara efektif dan efisien.
Sedangkan bagi Bank Indonesia, pemberlakuan CSA akan memberikan manfaat dalam hal:
a. Memudahkan Bank Indonesia untuk memantau ketaatan peserta dalam memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM).
b. Bank Indonesia juga akan lebih mudah dalam memantau likuiditas peserta karena posisi rekening giro peserta sudah bersifat nasionall (consolidated) dan dapat dimonitor recara real-time.
c. Memberikan informasi yang lebih akurat untuk early warning system terhadap peserta yang mengalami kesulitan likuiditas[10].
BAGIAN III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa BI-RTGS adalah salah satu mekanisme penyelesaian transaksi antar bank disamping kliring. Secara umum, BI-RTGS lebih unggul dibandingkan dengan mekanisme kliring. Mengapa? karena BI-RTGS hanya membutuhkan waktu yang singkat (bahkan seketika) untuk melakukan settlement antar bank. Selain itu, sistem ini juga mengurangi resiko kekurangan saldo giro bank di bank indonesia karena menggunakan gross settlement.
Comments
Post a Comment