REDENOMINASI RUPIAH
Oleh:
Arowadi Lubis
Pendahuluan
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terakhir tergolong stabil. Angka pertumbuhan
ekonomi senantiasa berada pada kisaran 5-6 persen pertahun. Bahkan, ekonomi
Indonesia dapat dikatakan cukup kuat untuk menghadapi krisis global yang
terjadi pada tahun 2008. Tren
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara visual digambarkan dalam grafik berikut
ini (Setneg. 2013):
Perekonomian
yang senantiasa tumbuh, tentunya akan meningkatkan jumlah dan perputaran uang.
Hal ini akan berdampak pada pencataan digit nilai rupiah yang semakin besar
pula. Digit nilai rupiah yang besar, ternyata telah menyulitkan berbagai pihak
dalam melakukan pencatatan keuangan mereka. Sehingga, berbagai pihak tadi
menginginkan penyederhanaan digit nilai rupiah. Contoh sederhana sangat mudah
terlihat ketika kita melihat laporan keuangan berbagai perusahaan. Mereka
biasanya menghilangkan berberapa digit angka nol dalam penulisan laporan
keuangannya dengan memberikan keterangan dalam ribuan rupiah, dalam jutaan
rupiah, atau bahkan dalam miliar rupiah. Hal yang sama juga terjadi dalam
penulisan APBN Indonesia, dimana telah dilakukan pencatatan dengan
menghilangkan 12 digit (triliun rupiah) (Setneg. 2013).
Di
sisi lain, Bank Indonesia yang memiliki tujuan tunggal menjaga kestabilan nilai
rupiah yakni kestabilan terhadap barang dan jasa serta kestabilan terhadap mata
uang asing, salah satu tugasnya adalah menjaga kestabilan dan kelancaran system
pembayaran. Artinya, bank Indonesia harus mampu menciptakan system pembayaran
yang efisien, aman, cepat, dan handal. Ternyata nilai rupiah yang terlalu
besar, telah menyebabkan system pembayaran yang relative lamban dan tidak
efisien. Ketika masyarakat melakukan suatu transaksi, maka mereka harus
direpotkan oleh pencatatan yang panjang dan proses perhitungan yang sangat
besar dari nilai mata uang rupiah (I Wayan Wita Kesuma Jaya, 2011).
Keadaan
ini yang menggulirkan wacana redenominasi mata uang rupiah. Wacana redenominasi
telah digulirkan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2010. Redenominasi rupiah
diharapkan dapat meminimalisir inefisiensi dalam perekonomian, membuat
penggunaan rupiah menjadi lebih nyaman dengan pencatatan digit yang tidak
terlalu banyak, dan mengurangi kendala teknis dalam transaksi pembayaran non
tunai (Setneg. 2013).
Tulisan
ini akan mencoba membahas tentang deskripsi dari Redenominasi Rupiah yang telah
dicanangkan oleh bank Indonesia. Setidaknya tulisan ini akan membahas Pengertian
kebijakan redenominasi, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan
kebijakan redenominasi, tahap-tahap pelaksanaan kebijaksanaan redenominasi,
dampak (efek) dari kebijakan redenominasi, dan ditutup dengan kisah
keberhasilan dan kegagalan redenominasi.
Pengertian Redenominasi
Menurut
Bank Indonesia, Redenominasi diartikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang
menjadi pecahan yang lebih kecil dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa
mengurangi nilai uang tersebut. Masyarakat luas sering kali menganggap
pengertian“redenominasi”sama dengan “sanering”. Padahal kedua istilah tersebut
jauh berbeda. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari berbagai sisi (Setneg,
2013):
Perbedaan
kedua kebijakan tersebut terlihat sangat jelas. Titik berat dari perbedaan
keduanya berada pada nilai mata uang dan daya belinya, dimana kebijakan
redenominasi sama sekali tidak mengubah nilai mata uang dan daya
belinya.Sementara kebijakan sanering mengurangi nilai mata uang terhadap daya
belinya atas suatu barang dan jasa (Setneg, 2013)
Berbeda
dengan sanering,kebijakan redenominasi dapat pula meningkatkan martabat bangsa
dengan meringkas digit uang tanpa mengurangi nilai mata uang. Saat ini di Asia
Tenggara hanya Indonesia dan Vietnam saja yang memiliki pecahan mata uang
hingga 5 digit. Dengan redenominasi berupa menghilangkan tiga angka nol (3
digit), maka nilai kurs baru rupiah terhadap mata uang negara lain akan
mengalami penyesuaian nominal, meskipun daya belinya tidak berubah. Sebagai
contoh nilai tukar baru rupiah terhadap US$ akan dapat menjadi Rp.9,69/ US$
(saat ini Rp.9699/US$) dan terhadap Ringgit menjadi Rp.3,17/Ringgit (saat ini
Rp.3174/Ringgit) (Setneg, 2013).
Syarat Pelaksanaan Kebijakan
Redenominasi
Lagi-lagi
menurut Bank Indonesia, persyaratan yang harus dipenuhi agar redenominasi dapat
dilakukan adalah (Setneg, 2013):
1. Stabilitas
makro ekonomi
Stabilitas makro
ekonomi sebagai syarat pelaksanaan redenominasi setidaknya ada 2 macam yakni
tingkat inflasi dan nilai tukar mata uang. Tingkat inflasi sendiri merupakan
perbandingan antara nilai mata uang terhadap barang. Hal ini senantiasa dijaga
agar tetap stabil. Sementara, Nilai Tukar adalah perbandingan nilai mata uang
tertentu dengan mata uang Negara lain. Dalam hal ini perbandingan antara rupiah
Indonesia dengan mata uang Negara lain baik itu mata uang kuat (hard currency) maupun mata uang lemah (soft currency). Misalnya perbandingan Rupiah
Indonesia dengan Dolar Amerika Serikat, Rupiah dengan Euro Uni Eropa, Rupiah
dengan Poundsterling dan sebagainya.
2. Dukungan
penuh dari seluruh lapisan masyarakat
Dukungan penuh
masyarakat di sini artinya dukungan dari semua lapisan masyarakat mulai dari
pemerintah sendiri, parlemen, otoritas terkait, pelaku bisnis, dan konsumen.
3. Tersedianya
landasan hukum yang kuat
Landasan hukum yang
kuat itu setidaknya sudah memiliki undang-undang yang disahkan oleh DPR, dan
selanjutnya sudah ada peraturan Bank Indonesia yang mengatur teknis pelaksanaan
kebijakan redenominasi rupiah.
4. Sosialisasi dan edukasi public yang intensif
Sosialisasi dan edukasi
kepada masyarakat diperlukan setidaknya untuk tiga alasan yakni agar tidak
terjadi kenaikan harga secara berlebihan, agar masyarakat tidak menganggap
redenominasi sama dengan sanering, dan mengatasi kepanikan pada masyarakat yang
berpotensi mengakibatkan inflasi.
5. Pemilihan
waktu (timing) dan urutan pelaksanaan
(sequencing) yang tepat.
Redenominasi dilakukan apabila
seluruh prasyarat yang diperlukan bagi keberhasilan program redenominasi telah
terpenuhi. Pemilihan waktu yang tidak tepat terbukti menjadi sumber kegagalan
redenominasi di beberapa negara seperti Brazil, Rusia, Korea Utara, dan
Zimbabwe. Mereka melakukan redenominasi di waktu yang salah dimana perekonomian
negara tersebut belum mapan dalam menjaga stabilitas perekonomian dan
kepercayaan publik. Selain itu pelaksanaan redenominasi tidak dapat
dilaksanakan sekaligus pada satu waktu, namun memerlukan masa transisi/tahapan,
yang dimulai dengan pemberlakuan 2 jenis mata uang dan pencantuman 2 harga
dalam 2 nilai transaksi (mata uang lama dan mata uang sementara), diikuti
dengan penarikan mata uang lama dan pemberlakuan mata uang sementara, hingga
akhirnya penarikan mata uang sementara dan pemberlakuan sepenuhnya mata uang
yang baru.
Dampak Kebijakan Redenominasi
Secara
umum, dapat dari kebijakan redenominasi rupiah ini nantinya mesti terbagi jadi
dua hal, yakni dampat negative dan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Dari
sudut pandang lain, penetapan redenominasi tentu akan mempengaruhi berbagai
dimensi, baik sisi ekonomi, politik maupun kemasyarakatan. Efek tersebut tidak
bisa dipisahkan satu sama lain karena bersifat saling mempengaruhi (Setneg,
2013).
Dari
sisi moneter, redenominasi dapat memicu inflasi apabila terjadi efek psikologi
masyarakat yang terserang kepanikan dan perilaku moral hazard yang memanfaatkan
asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang dan menaikkan harga.
Hal ini terjadi apabila tidak dilakukan sosialisi secara menyeluruh. Kepanikan
masyarakat tersebut akan mendorong masyarakat untuk tidak memegang Rupiah dan
lebih memilih untuk membelanjakan uang mereka menjadi aset. Dengan demikian
akan berlaku hukum supply-demand yang mendorong terjadinya kenaikan harga
aset-aset tersebut. Selain itu kepanikan tersebut bisa mendorong masyarakat
untuk lebih memilih memegang mata uang asing yang lebih terpercaya. Keadaan ini
tentu akan membuat nilai rupiah terdepresiasi. Rupiah yang terdepresiasi
bermakna bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi lebih rendah
dan mengindikasikan daya saing dalam negeri menurun dibandingkan asing. Inflasi
juga terjadi dikarenakan adanya pembulatan keatas apabila tidak terdapat
pecahan kecil untuk mata uang baru.
Dengan
demikian pemberlakuan redenominasi perlu diikuti dengan kewaspadaan tinggi
terhadap timbulnya hyper-inflasi. Sosialisasi perlu digencarkan dan operasi
pasar perlu digalakkan untuk mencegah adanya spekulan yang memanfaatkan
kepanikan masyarakat (Setneg, 2013).
Namun
demikian, redenominasi untuk jangka panjang sangat bermanfaat dalam mengangkat
martabat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mata uang Rupiah. Selain itu
terdapat sisi positif apabila redenominasi diterapkan yaitu (Setneg, 2013):
1. Efisiensi
sistem pembayaran akan tercapai dimana harga barang yang tercantum menjadi
lebih sederhana, proses pencatatan, penyimpanan, pengelolaan, dan pelaporan
data dalam laporan keuangan/statistik menjadi lebih pendek, cepat serta dapat
disajikan dalam angka penuh.
2. Dalam
teknologi informasi, redenominasi akan mengurangi penyesuaian software dan
hardware tersebut dalam mengakomodir digit angka yang semakin besar. Saat ini,
kemampuan komputer hanya dapat mengakomodir 15 digit angka saja. Padahal nilai
APBN Indonesia telah mencapai 16 digit.
3. Redenominasi
juga dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa kemungkinan kesalahan
manusia dalam proses pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya.
4. Persepsi
atau kepercayaan masyarakat lebih tinggi terhadap uang Rupiah dikarenakan harga
berubah pada kisaran yang sempit
5. Mengurangi
risiko currency substitution yang selanjutnya mendukung nilai Rupiah yang lebih
stabil.
6. Mendukung
kesetaraan ekonomi dengan kawasan dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Tahap Pelaksanaan Kebijakan
Redenominasi di Indonesia
Kebijakan
Redenominasi di Indonesia, direncanakan oleh Bank Indonesia untuk dilaksanakan
dalam lima tahapan. Tentunya dengan pertimbangan matang sehingga diharapkan,
kebijakan redenominasi rupiah menjadi kebijakan redenominasi yang berhasil dan
memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Adapun rencana tahapan
redenominasi rupiah di Indonesia dirinci sebagai berikut (I Wayan Wita
Kesumajaya, 2011) :
1. Tahun
2010: Pengundangan redenominasi melalui UU mata Uang.
2. Tahun
2011-2012: Tahapan Sosialisasi
3. Tahun
2013-2015: Masa transisi.
Pada masa transisi
direncankan akan digunakan mata uang rupiah yakni dengan memakai istilah rupiah
lama dan rupiah hasil redenominasi yang selanjutnya disebut dengan rupiah baru.
Ketika terjadi transaksi, maka si pembeli maupun si penjual dapat menggunakan
rupiah lama maupun rupiah baru. Bias juga si pembeli menggunakan rupiah lama
ketika membayar nilai transaksi dan si penjual memberikan kembalian dengan
rupiah baru, atau sebaliknya. Pada masa transisi ini direncanakan kalau si
penjual harus menyediakan dua daftar harga, yakni dalam nilai rupiah lama dan
rupiah baru.
4. Tahun
2016-2018: Proses penarikan rupiah lama
5. Tahun
2019-2020: Penghapusan Keterangan Rupiah baru dalam uang hasil redenominasi.
Dengan dihapusnya keterangan uang
baru pada rupiah hasil redenominasi, maka uang lama sudah tidak berlaku, dan
semua masyarakat sudah harus bertransaksi dengan uang rupiah baru.
Kisah Keberhasilan dan Kegagalan
Redenominasi
Turki
merupakan salah satu negara yang berhasil menerapkan redenominasi mata uang.
Selain Turki, negara yang berhasil meredenominasi mata uangnya adalah Rumania,
Polandia, dan Ukraina. Turki meredenominasi mata uang Lira secara bertahap
selama 7 tahun yang dimulai sejak tahun 2005. Setelah redenominasi, semua uang
lama Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi Lira baru (dengan kode YTL,
dimana Y bermakna “Yeni” atau baru). Kurs konversi adalah 1 YTL untuk 1.000.000
TL, atau menghilangkan enam angka nol (6 digit) (Setneg, 2013).
Turki
meredenominasi mata uang secara bertahap dengan memperhatikan stabilitas
perekonomian dalam negerinya. Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar
secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap
digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya, sebutan “Yeni” pada uang baru
dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai
redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian tetap terjaga.
Inflasi Turki pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 juga tetap stabil
dikisaran 8-9% (Setneg, 2013).
Sementara
itu, negara-negara seperti Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara dan Brazil
tercatat sebagai negara-negara yang gagal dalam melakukan redenominasi, meski
Brazil kemudian berhasil dalam melakukan redenominasi pada tahun 1994.
Negara-negara tersebut memberlakukan redenominasi pada saat yang tidak tepat
dimana kondisi perekonomian tidak stabil dan memiliki tingkat inflasi yang
tinggi. Di Rusia, redenominasi bahkan dianggap sebagai instrumen tak langsung
pemerintah merampok kekayaan rakyat. Korea Utara pada akhir tahun 2009
melakukan redenominasi 100 won menjadi 1 won. Namun, saat warga hendak
menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak tersedia (Setneg,
2013).
Brazil
juga sempat mengalami kegagalan melakukan redenominasi yakni pada tahun
1986-1989. Brazil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi
cruzado. Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap
USD hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap USD. Kegagalan ini dikarenakan
pemerintah Brazil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih
mencapai 500% per tahun. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah juga
menjadi pangkal masalah kegagalan redenominasi pada tahun 1986 mengingat negeri
itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis
kepastian berusaha. Brazil akhirnya berhasil dalam menerapkan redenominasi pada
tahun 1994. Kombinasi sukses memangkas inflasi dan masuknya modal asing yang
meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor terpenting keberhasilan
redenominasi di Brazil (Setneg, 2013).
Kesimpulan
Setidaknya
ada tiga kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini, sebagaimana dipaparkan
sebagai berikut:
1. Aktifitas
Redenominasi sesungguhnya memang diperlukan untuk tujuan efisiensi transaksi
dalam perekonomian Indonesia. Artinya, tidak ada kerugian redenominasi bagi
masyarakat, tetapi secara teoritis, masyarakat malah diuntungkan dengan adanya
kesempatan untuk transaksi yang lebih efisien.
2. Secara
teoritis, sekarang (interval waktu 2010-2020) merupakan saat yang tepat untuk
melakukan redenominasi rupiah, karena kondisi fundamental ekonomi Indonesia berada
pada kondisi yang baik yakni tingkat pertumbuhan sekitar 4-5 % pertahun dan
tingkat inflasi yang berada pada kisaran 3% pertahunnya.
3. Pemerintah
(dalam hal ini Bank Indonesia) harus memiliki strategi khusus agar biaya yang
dikeluarkan untuk kebijakan redenominasi rupiah tidak membengkak, tetapi
benar-benar sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh, yakni tingkat
efisiensi perekonomian yang semakin baik.
Comments
Post a Comment